Air mata Benlina Ompusungu, 36 tahun, mengalir deras
saat melihat mobil alat berat merobohkan tembok gereja yang baru dipugar
tiga bulan terakhir, Kamis 21 Maret 2013. Sesekali, perempuan bertubuh
mungil itu mengais pasir sisa-sisa reruntuhan tembok dalam gempalan
tangannya.
Boru Lina, begitu ia disapa, merupakan satu dari ratusan jemaat
Gereja Huria Kristen Batak Protestan di Desa Taman Sari, Kecamatan Setu,
Kabupaten Bekasi. Dia bersama suami dan putrinya menentang keras
tindakan Pemerintah Kabupaten Bekasi selaku eksekutor perobohan tempat
peribadatan yang dihuninya sejak medio 2005. "Kami hanya ingin
beribadah. Kami bukan penjahat," ujar dia saat melepas pasir dalam
gumpalan tangannya.
Raut kesedihan Lina pun seakan hampa, karena tidak digubris oleh
puluhan anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bekasi yang
mengawal proses pembongkaran gereja. Hingga akhirnya, perempuan itu
dirangkul oleh kerabat jemaat lainnya, sambil mengusap matanya yang
lebam akibat tangisan untuk menyingkir dari puing-puing pembongkaran
rumah ibadah yang dikenal Gereja HKBP Setu.
Eksekusi pembongkaran gereja sebetulnya berlangsung alot. Jemaat
tidak menerima tempat peribadatan yang sudah berdiri sejak medio 1999
itu dibongkar. Lina bersama puluhan jemaat perempuan lainnya juga sempat
menahan mobil alat berat itu untuk tidak melaju ke area gereja. Di lain
sisi, puluhan jemaat lelaki meminta pihak pemerintah bermusyawarah
untuk tidak langsung mengeksekusi pembongkaran.
Masalah yang membuat pemerintah daerah membongkar paksa bangunan
Gereja HKBP Setu berpangkal pada proses perizinan pendirian bangunan.
Gereja yang dipimpin Pendeta Advent Leonard Nababan itu diketahui tidak
mempunyai izin mendirikan bangunan, untuk perluasan dan pemugaran.
Adapun pihak pemerintah mengaku tidak pernah melarang jemaat untuk
beraktivitas ibadah.
Pembangunan Gereja HKBP Setu dilakukan karena jumlah jemaat yang
semakin bertambah setiap tahunnya. Sebelumnya, rumah ibadah itu hanya
berbentuk sebuah bilik satu lantai, beratap asbes, dan berlantai tanah.
Di dalam bangunan seluas 400 meter persegi itu pun berdiri sebuah mimbar
peribadatan dan puluhan bangku untuk jemaat. Para jemaat pun meminta
bangunan gereja dijadikan permanen, dan diperluas 20x16 meter persegi
dengan dua lantai.
Panahatan Siregar, 45 tahun, jemaat sekaligus sekretaris panitia
pembangunan dan perizinan gereja, mengaku telah mengurus perizinan untuk
perluasan bangunan tempat beribadahnya. Itu dari pengurusan izin
lingkungan yang diambil dari persetujuan lebih dari 60 warga sekitar
lokasi gereja. Namun, kata dia, proses perizinan itu pun kerap
dimentahkan di tingkat kepala desa karena diklaim persetujuan
lingkungannya tidak laik.
Padahal, Siregar memastikan bahwa pihak yang menyetujui perizinan
lingkungan itu benar warga Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Dia juga
mengklaim sebagian besar jemaat HKBP Setu merupakan warga wilayah
setempat. "Kepala Desa selalu mementahkan dengan cara memverifikasi
faktual. Seharusnya itu bukan urusan dia," ujarnya.
Mantan Camat Setu, Beni Saputra, mengatakan upaya penempuhan
perizinan gereja sempat dua kali diterimanya sebelum dia menanggalkan
jabatanya pada November 2012 dan Januari 2013. Namun, prosesnya hanya
hingga sampai tingkat kepala desa karena diketahui izin lingkungannya
tidak mencukupi ketentuan Surat Keputusan Bersama 2 Menteri. "Kalau
dilihat dari yuridis formal, ya gereja itu belum punya imb," kata dia.
Kepala Bidang Penegakkan Peraturan Daerah, Satpol PP Kabupaten
Bekasi, Agus Dahlan mengatakan, eksekusi pembongkaran gereja sesuai
dengan keputusan Musyawarah Pimpinan Daerah, dan surat perintah dari
Bupati Neneng Nurhasanah Yasin. Dia mengklaim, tidak ada pelarangan
aktivitas ibadah kepada jemaat HKBP Setu. Sebagai eksekutor, Satpol PP
hanya merobohkan bagian bangunan yang tak berizin. "Kami tidak
membongkar sebelumnya, karena memiliki izin. Namun izin hunian, bukan
tempat beribadah."
Eksekusi pembongkaran Gereja HKBP Setu juga sempat molor dari jadwal
yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Bekasi pada pukul 09.00 WIB.
Molornya eksekusi dikabarkan karena terkendala penyewaan mobil alat
berat. Satu unit //excavator// milik pengelola Tempat Pembuangan Akhir
Sampah Burangkeng pun disewa sebagai eksekutor pembongkaran gereja, dan
tiba di lokasi pada pukul 12.15 WIB.
Meski sempat alot dan molor, bangunan gereja itu akhirnya dirobohkan
setelah sempat tertahan selama dua jam. Pimpinan jemaat, Pendeta Advent
sebelumnya juga berkomunikasi dengan pihak pemerintah untuk membatalkan
pembongkaran. Namun upaya itu tak mendapat tanggapan. "Pemerintah sudah
melakukan pembongkaran secara prosedural," ujar Wakil Bupati Rohim
Mintareja, saat dihubungi Tempo.
Sebelum aksi pembongkaran berlangsung, massa yang tergabung dalam
Forum Umat Muslim Tamansari juga sempat menggelar unjuk rasa di Jalan
Raya Setu, sekitar 700 meter dari lokasi gereja. Massa itu pun mendapat
pegamanan oleh kepolisian, guna mengantisipasi adanya konflik. Sedkitnya
270 personel kepolisian dan 30 anggota Tentara Nasional Indonesia
diterjunkan untuk mengamankan eksekusi pembongkaran gereja. Kini, para
jemaat HKBP Setu hanya bisa meratapi puing-puing bekas dinding gereja
yang terbongkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar